Jumat, 20 November 2009

LAGU SOROWAKO

Malam-malam, ketika teringat kampung halaman (kemudian mendengar lagu ini) seperti ada tangan yang mendekapku. hangat.

Oh Sorowako wita hinaaku
Poiangado mia mo tauto
Towa O – ndalo pueno mopute
Poiangato luwu mpedolo

Oh peetuku luwu luwuno
Tomtepo asa salo mia hawe
Membeweuwo ka melangkai
Poiangado mia motauto

I - torukono meihi nikele
Mete ema mia pandre u manggao

Tompounde kita pounde
Pounde montuu
Tompo undemo mpiha
Tadiomo masusato
To olai ntu’ u

Masusa aroa nahina tuduno
Tompoangga ka pengingisi
Aroa moiko

artinya:

Oh Sorowako tanah kelahiranku
Tempat tinggalnya orang tua kita
Danaunya dalam – ombaknya putih
Tempat kita mandi semua

Oh sepupuku semuanya
Mari bersatu dengan pendatang
Mempertahankan dan menghormati
Tanah pusaka orang tua kita

Di bukit tinggi berisi nikel
Menunggu orang pintar mengolahnya
Gembira senantiasa
Selalu gembira
Lemparkanlah rasa susah
Sejauh – jauhnya

Bersedih berduka tak ada gunanya
Bekerja sambil tertawa
Habislah perkara


Dari jauh kulihat pulau yang indah
Makin lama makin kelihatan terang
Yang lama ku impi hingga sekarang
Sulawesi pulauku yang indah

Pantai sana tempat indah dan permai
Bukit gunung berderet berlangit biru
Angin bertiup bunga – bunga terberai indah
Sejuklah tanah airku

Sabtu, 14 November 2009

Sorowako, Riwayatmu Dulu…

Sorowako atau Soroako? Mana yang benar? Sudah empat tahun saya tinggal di kota ini. Setiap membaca nama kampung ini dengan ejaan yang berbeda-beda, selalu saja muncul gelitik di hati. Mana yang benar? Ejaan yang memakai huruf w atau tanpa huruf w?

Ada beberapa pendapat yang saya dapat setelah bertanya-tanya dan membaca buku. Salah satunya buku Inco, Mengalir di Tengah Gejolak Pertambangan karangan M. Dahlan Abubakar dan Asdar Muis RMS. Menurut mereka, ejaan yang dianggap resmi adalah Sorowako. Memang, pada mulanya ejaan yang dipakai adalah Soroako. Dengan berlalunya waktu, Soroako berubah menjadi Sorowako. Itu terjadi pada era Mijnwet Maatschappij Celebes (MMC) ( perusahaan tambang nikel di masa Hindia Belanda). Alasannya sederhana. Lidah orang Bugis lebih enak mengucapkan Sorowako.

Saya pun kemudian mengamati ejaan yang dipakai oleh organisasi kemasyarakatan milik penduduk Sorowako asli yakni Keluarga Wawainia Asli Sorowako (KWAS). Di situ juga ditulis Sorowako. Nah, ejaan inilah yang saya ikuti.

Cerita Asal Mula Sorowako
Setiap tempat pasti memiliki sejarahnya sendiri. Demikian juga dengan kampung Sorowako. Saya beruntung memiliki beberapa orang yang dapat ditanya dan juga beberapa buku yang bercerita tentang sejarah Sorowako. Salah satu buku yang saya anggap bagus adalah Step Children of Progress karya Dr. Kathryn Robinson. Buku ini hasil observasi Dr. Kathryn selama 18 bulan pada tahun 1978.

Menurut antropolog Australian National University ini, pada awalnya penduduk ´sorowako` tinggal di kampung Helai (saat ini menjadi Old Camp area, perumahan bagi karyawan PT INCO). Pada suatu hari penduduk kampung `sorowako` diserang oleh musuh yang berasal dari Sulawesi Tengah. Serangan ini membuat orang-orang kampung tercerai berai dan melarikan diri. Tosalili (salah satu pemuka penduduk Sorowako) bersama Opu Bintao Wita (Mokole Matano), sebagai pemimpin kampung mencari daerah baru untuk tempat tinggal. Kedua orang tersebut berperahu melewati danau dan masuk ke muara sungai Laa Wewu (sungai yang keruh). Tidak beberapa lama anjing yang menyertai mereka menggonggong ke arah semak-semak. Kemudian Opu menunjuk ke pohon yang tumbuh di antara semak-semak tersebut dan bertanya pada Tosalili.
„Apakah kamu tahu nama pohon itu?“ Tosalili menjawab bahwa dirinya tidak tahu. Kemudian Opu berkata,”Aku tahu. Pohon itu disebut serewako.“
Tidak beberapa lama kemudian, anjing mereka menangkap seekor rusa di semak-semak. “Ini adalah pertanda baik”, kata Opu. “Sebaiknya kamu membangun rumah di sini.“ lanjutnya. Tosalili menyetujuinya. Mereka berdua kemudian menanam pasak dari cabang pohon serewako. Tak hanya itu, Opu Bintao Wita juga menyarankan Tosalili membangun rumah di tepi sungai yang lain.

Cerita yang lain berasal dari buku Putri Loeha dan Payung Saktinya, Kumpulan Cerita Rakyat Sekitar Danau Matano, yang disusun oleh Mardiani Pandego dkk. Buku ini diterbitan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2008 lalu. Menurut Mardiani (generasi muda asli kampung Sorowako yang memiliki kepedulian pada folklore Sorowako) ada tiga versi tentang asal usul kampung Sorowako.

Cerita pertama :
Orang-orang Sorowako saat ini berasal dari kampung Pontadaa (saat ini menjadi perumahan karyawan PT INCO). Karena terjadi lolowi (air bah semacam tsunami) penduduk Pontadaa ini pun pindah ke kampung Helai.
Kampung Helai pun kemudian menjadi daerah yang dikenal karena kesuburannya. Ini membuat daerah ini tidak aman. Banyak suku lain ingin menguasai daerah tersebut. Penduduk Helai pun bermusyawarah. Diambil kesepakatan Nggusu sebagai tetua kampung diutus untuk menemui Opu Janggo di Subario (tempat lain di pinggir Danau Matano).

Opu Janggo pun menyarankan penduduk pindah dari tempat tersebut. Dengan menaiki perahu (mabangka-bangka), Opu Janggo dan Nggusu mencari daerah yang dianggap aman. Mereka pun menyusuri sungai Pontadaa (sungai antara Pontadaa dan Tapulemo). Tapi sayang, mereka belum mendapatkan tempat yang cocok. Akhirnya mereka pindah ke sungai La Wewu. Saat sampan menepi, anjing yang menyertai mereka meloncat ke daratan dan memburu seekor rusa. Di bawah satu pohon yang rindang, anjing tersebut dapat menangkap rusa tersebut. Opu Janggo memperhatikan pohon rindang tersebut. Aneh, pohon tersebut mengeluarkan bau yang wangi dan bunganya mirip kenanga.
„Kau tahu nama pohon ini?“ tanya Opu Janggo pada Nggusu. Nggusu menjawab tidak tidak tahu.
„Pohon ini bernama serewako,“kata Opu Janggo memberi tahu. „Karena ketiga anjingmu berhasil menangkap rusa di bawah pohon ini, maka sebaiknya kalian membangun pemukiman di sini. Ini pertanda baik.“

Cerita kedua:
Orang-orang Sorowako berasal dari Sakita, Sulawesi Tengah. Dipimpin oleh Tosalili, orang-orang Sakita ini menemukan daerah baru yang kemudian diberi nama Helai. Daerah tersebut terkenal subur. Kesuburan inilah yang membuat daerah ini tidak aman. Banyak suku-suku lain ingin menguasai daerah tersebut. Hingga suatu saat, penduduk Helai diserang oleh musuh pada malam hari. Mereka kewalahan. Akhirnya Tosalili bersama penduduk Helai lainnya melarikan diri mencari tempat pemukiman baru. Daerah yang baru tersebut disebut Soroako yang berarti tempat mundur.

Cerita ketiga
Penduduk Sorowako, menurut cerita yang ketiga ini berasal dari Helai. Karena kesuburannya, banyak suku-suku lain yang ingin menguasai daerah tersebut. Maka terjadilah peperangan mempertahankan daerah tersebut. Sayang, yang berhasil selamat hanyalah tiga orang yakni Wita, Lamoha, dan Rowo. Mereka pun bersampan mencari daerah yang aman. Hingga mereka menemukan daerah yang damai dan tenang. Di situ pula mereka menemukan lewe serewako (daun serewako) yang dianggap sebagai pertanda baik untuk membangun tempat tinggal. Lamoha pun kemudian mengambil tondoho (tempat menempa besi) dan menjatuhkannya ke sungai sebagai tanda mereka akan menempati daerah tersebut.


Dikenal Sejak zaman Majapahit
Sorowako dan daerah sekitar Danau Matano sendiri sudah lama dikenal jauh sebelum PT Inco melakukan eksploitasi di tempat ini. Daerah ini terkenal karena kekayaan tambang besi yang dimilikinya. Menurut Dr. Kathryn Robinson, besi yang mengandung nikel dari daerah ini sudah diperdagangkan ke seluruh Nusantara, termasuk ke kerajaan Majapahit. Bukti aktivitas peleburan besi ini dapat ditemukan di daerah Sokoio dan Nuha. Kathryn memperkirakan aktivitas peleburan ini dimulai sejak abad ke10 Masehi. Meski begitu, daerah ini baru ramai sebagai tempat peleburan pada abad ke 14 sampai dengan abad ke 17 Masehi.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Iwan Sumantri, penulis buku Kedatuan Luwu. Arkeolog dari Universitas Hasanuddin, Makassar ini berpendapat bahwa orang-orang Majapahit telah memakai besi dari Luwu (notabene bahannya dari sekitar Danau Matano) untuk bahan membuat keris yang kemudian dikenal sebagai keris berpamor Luwu. Tak heran bila Luwu mendapat tempat yang istimewa dalam sejarah Majapahit. Keberadaan Luwu paling tidak disebut sebanyak tiga kali dalam kitab Negarakertagama serta dianggap sebagai saudara muda yang disayang(*)